Peristiwa
PKI/Madiun,Pemberontakan DI/TII,Pemberontakan APRA,Pemberontakan Andi
Azis,pemberontakan RMS,Permesta,dan G-30-S/PKI
Setelah
Indonesia mencapai kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, berarti Indonesia
mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Akan tetapi, ada beberapa golongan yang
tidak setuju dengan sistem pemerintahan tersebut. Sehingga mereka melakukan
pemberontakan, seperti Peristiwa Madiun/PKI, DI /TII, G 30 S /PKI dan
konflik-konflik internal lainnya.
1.
Peristiwa PKI/Madiun
Pemberontakan ini terjadi pada tahun
1948 ini merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang
berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaannya di
Indonesia. Pemimpin pemberontakan ini di antaranya adalah Amir Syarifuddin dan
Musso. Amir Syarifudin adalah mantan Perdana Menteri dan menandatangani
Perjanjian Renville. Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian
membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948 dan melakukan
pemberontakan di Madiun. Sedangkan Musso adalah Tokoh PKI yang pernah gagal
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926.
Setelah gagal ia melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya ia pulang ke
Indonesia bergabung dengan Amir Syarifuddin untuk mengadakan propaganda-propaganda
anti pemerintah di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.
Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini
didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok ini seringkali
melakukan aksi-aksinya antara lain:
(1) melancarkan propaganda anti
pemerintah,
(2) mengadakan pemogokan-pemogokan kerja
bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu Klaten.
(3) melakukan pembunuhan-pembunuhan
misalnya dalam bentrokan senjata di Solo tanggal 2 Juli 1948, Komandan Divisi
LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13 September
1948 tokoh pejuang 1945, Dr. Moewardi diculik dan dibunuh.
Aksi pengacauan di Solo yang
dilakukan PKI ini selanjutnya meluas dan mencapai puncaknya pada tanggal 18
September 1948. PKI berhasil menguasai Madiun dan sekitarnya seperti Blora,
Rembang, Pati, Kudus, Purwadadi, Ponorogo, dan Trenggalek. PKI mengumumkan
berdirinya “Soviet Republik Indonesia.” Setelah menguasai Madiun para
pemberontak melakukan penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran. Pejabat-pejabat
pemerintah, para perwira TNI dan polisi, pemimpin-pemimpin partai, para ulama,
dan tokoh-tokoh masyarakat banyak yang menjadi korban keganasan PKI.
Pemberontakan PKI di Madiun ini
bertujuan meruntuhkan pemerintah RI yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945
yang akan diganti dengan pemerintahan yang berdasar paham komunis. Kekejaman
PKI ketika melakukan pemberontakan pada tanggal 18 September 1948 tersebut
mengakibatkan kemarahan rakyat. Oleh karena itu pemerintah bersama rakyat
segera mengambil tindakan tegas terhadap kaum pemberontak. Dalam usaha
mengatasi keadaan, Pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur
Militer Daerah Istimewa Surakarta dan sekitarnya, yang meliputi Semarang, Pati,
dan Madiun. Panglima Jenderal Sudirman segera memerintahkan kepada Kolonel
Gatot Soebroto di Jawa Tengah dan Kolonel Soengkono di Jawa Timur agar
mengerahkan kekuatan kekuatan TNI dan polisi untuk menumpas kaum pemberontak.
Karena Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit maka pimpinan operasi
penumpasan diserahkan kepada Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar
Komando Jawa (MBKD). Walaupun dalam operasi penumpasan PKI Madiun ini menghadapi
kesulitan karena sebagian besar pasukan TNI menjaga garis demarkasi menghadapi
Belanda, dengan menggunakan dua brigade kesatuan cadangan umum Divisi III
Siliwangi dan brigade Surachmad dari Jawa Timur serta kesatuan-kesatuan lainnya
yang setia kepada negara Indonesia maka pemberontak dapat ditumpas. Pada
tanggal 30 September 1948 seluruh kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI.
Musso yang melarikan diri ke luar kota dapat dikejar dan ditembak TNI.
Sedangkan Amir Syarifuddin tertangkap di hutan Ngrambe, Grobogan, daerah
Puwadadi dan dihukum mati. Akhirnya pemberontakan PKI di Madiun dapat
dipadamkan meskipun banyak memakan korban dan melemahkan kekuatan pertahanan
RI.
2. Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI / TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu
desa di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul
Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan
ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh pasukan Siliwangi yang
berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan ketentuan
dalam Perundingan Renville. Usaha untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini
memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
(1) medannya berupa daerah
pegunungan-pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII untuk
bergerilya,
(2) pasukan Kartosuwiryo dapat
bergerak dengan leluasa di kalangan rakyat,
(3) pasukan DI /TII mendapat bantuan
dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik-pemilik perkebunan dan para
pendukung negara Pasundan,
(4) suasana politik yang tidak
stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit usaha-usaha
pemulihan keamanan.
Selanjutnya dalam menghadapi aksi
DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolan ini. Pada
tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “Pagar Betis” dan
operasi “Bratayudha.” Pada tanggal 4 Juni 1962 SM. Kartosuwiryo beserta para
pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi “Bratayudha”
di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian SM. Kartosuwiryo oleh
Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/ TII di
Jawa Barat dapat dipadamkan.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa
Tengah
Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di
Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul pemberontakan yang didalangi
oleh DI/ TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah
yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. dan Moh. Mahfudh Abdul
Rachman (Kiai Sumolangu). Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari
1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut “Gerakan Banteng Negara”
(GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini (selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M.
Bachrun dan kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan
pasukan “Banteng Raiders.” Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan
yang merupakan bagian dari DI/ TII, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam
(AUI)” yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai
“Romo Pusat” atau Kyai Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan
waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di
daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung
dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini
pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Soeharto, Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon
pemberontak terrsebut dapat dihancurkan dan sisa- sisanya melarikan diri ke
Jawa Barat dan ke daerah GBN.
3. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Gerombolan DI/ TII juga melakukan
pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh. Adapun penyebab
timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena
status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi karesidenan
di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh
yang waktu itu menjabat sebagai gubernur militer menyatakan bahwa Aceh
merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM.
Kartosuwiryo. Dalam menghadapi pemberontakan DI/ TII di Aceh ini semula
pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M.
Yasin, Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember
1962 diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan
tokohtokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/ TII di Aceh dapat
dipadamkan.
4. Pemberontakan DI / TII di
Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan juga timbul
pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April
1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung
dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang RIS
(APRIS). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan.
Pemerintah melakukan pendekatan
kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada
tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke
hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap rakyat. Untuk
menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan
operasi militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap
dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
5. Pemberontakan DI /TII di
Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga
melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar.
Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pospos kesatuan TNI.
Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan
pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan
diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah
menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya
pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar
beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dimusnahkan.
3.
Pemberontakan APRA
Pada saat pertama pemerintah RIS-
yang mana Dr Moh Hatta jadi Perdana Menteri tak sedikit kesulitan yang dihadapi
oleh Pemerintah. Baik rongrongan dari luar, maupun dari dalam tubuh sendiri.
Pembentukan APRIS ternyata
menimbulkan ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan terjadinya serentetan
pertumpahan darah Diantara kalangan TNI sendiri ada tantangan dan keengganan
untuk bekerjasama dengan bekas anggota tentara Belanda, dengan KNIL, KL, KM dan
sebagainya yang dilebur kedalam APRIS.
Sebaliknya dipihak KNIL ada tuntutan
agar bekas kesatuannya ditetapkan sebagai alat dari Negara Bagian. Juga
tantangan dari eks serdadu KNIL yang merasa was-was akan nasib mereka jika
dilebur dalam tubuh APRIS bersama dengan TNI. Mereka takut kehilangan
kedudukannya kalau Belanda pergi dari Indonesia.
Diantara mereka adalah gerakan apa
yang mereka namakan "APRA" (Angkatan Perang Ratu Adil) dibawah
pimpinan Kapten Raymond Westerling. Ya, Kapten inilah yang dengan para
pengikutnya pada tahun 1947 telah membuat terror di Sulawesi Selatan yang
terkenal bengis dan kejam dengan pembantaian dalam waktu singkat mencapai
sekitar 40.000 korban rakyat Indonesia.
Dengan menggunakan nama "Ratu
Adil" Westerling mencoba mengetahui rakyat Indonesia, seakan-akan
merekalah yang "ditungggu-tunggu" rakyat sesuai dengan ramalan
Joyoboyo, dan mereka pulalah yang akan memerintah Indonesia yang rakyatnya
sudah lama menderita.
Ketegangan-ketegangan pun terjadi
dalam pertentangan politik yang menajam antara golongan "Federalis"
yang tetap ingin mempertahankan Negara Bagian terhadap golongan
"Unitaris" yang menginginkan Negara Kesatuan.
Tujuan APRA sebenarnya untuk
mempertahankan bentuk Federal Indonesia, oleh sebab itu beberapa Pengusaha
Perkebunan dan tokoh-tokoh Belanda berdiri di belakang Westerling.
Kebrutalan APRA menjadi-jadi, karena
mereka telah memberikan "ultimatum" kepada Pemerintah RIS dan Negara
Pasundan, supaya mereka diakui sebagai "Tentara Pasundan" dan menolak
untuk membubarkan Negara "boneka" tersebut. Sudah tentu
"ultimatum" tersebut tidak digubris oleh Pemerintah RIS, yang
sebagaimana diketahui Perdana Menterinya adalah Bung Hatta.
Maka pada tanggal 23 Januari 1950
pagi-pagi benar dengan diperkirakan membawahi 800 tentara KNIL, terdiri dari
pelarian-pelarian pasukan payung, barisan pengawal "Stoottroepen" dan
polisi Belanda dengan dilindungi oleh kendaraan berlapis baja, mereka
"menyerbu" kota Bandung. Dan untuk beberapa lamanya mereka dapat
"kuasai" kota Bandung.
Setiap anggota APRIS (TNI) yang
mereka temui-baik itu bersenjata atau tidak ditembak mati di tempat. Perlawanan
dapat dikatakan tidak ada, karena penyerbuan tersebut tidak terduga sama
sekali. Pun mengingat kesatuan-kesatuan Siliwangi baru beberapa saat saja
memasuki kota Bandung, setelah perdamaian terdapat sebagai hasil KMB. Staf
Divisi Siliwangi yang pada hari itu hanya dijaga 15 prajurit, diserang dengan
tak terduga. Seorang Perwira menengah-Letkol Lembong tewas menjadi keganasan
APRA. Dalam penyerbuan APRA ini 79 anggota APRIS/TNI gugur.
Pemerintah RIS untuk memperkuat
pertahanan kota Bandung mengirimkan bala bantuan antara lain dari
kesatuan-kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang ketika itu
sedang berada di Jakarta. Pun pada hari itu juga TNI dapat mengkonsolidasi
kekuatannya, dan akhirnya gerombolan APRA dapat dipaksa mengundurkan diri kota
Bandung.
Operasi penumpasan dan pengejaran
gerombolan APRA ini yang sedang melakukan gerakan mundur, segera dilakukan oleh
Kesatuan TNI. Dalam suatu pertempuran di daerah Pacet pada tanggal 24 Januari
1950 pasukan TNI berhasil menghancurkan sisa-sisa gerombolan APRA.
Di kota Bandung juga diadakan
pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa
tokoh Negara Pasundan. Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih
ingin melanjutkan "Petualangannya" di Jakarta. Ia merencanakan
gerakannya untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri Sidang
Kabinet dan membantainya, persis semacam apa yang pernah Westerling lakukan
dulu dengan rakyat Sulawesi Selatan tetapi gerakan tersebut dapat digagalkan,
dan ternyata bahwa "otaknya" adalah Sultan Hamid II, yang juga duduk
di Kabinet RIS, tapi zonder portofolio.
Sultan Hamid II dapat segera
ditangkap, sedangkan Westerling setelah melihat kegagalannya APRA di Bandung
dan juga gagal usahanya "menangkap" para Menteri RIS dalam Sidang
Kabinet RIS di Jakarta, sempat melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang
pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda, dan dengan demikian berakhirlah
"petualangan" Westerling untuk mengacau di Indonesia yang telah
membawa korban Rakyat Indonesia beribu-ribu banyaknya, dan tak akan dilupakan
oleh Bangsa Indonesia selama-lamanya. )Penulis adalah pejuang 1945)
Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas
rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan
organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang
diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan
bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan
Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan
yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari
temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota
Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul
20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi
Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan
bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden
memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang
akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar
mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang
harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada
27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari
1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu
ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian,
terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai
tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7
hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu
menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda
dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris
(Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani
Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak
nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada
Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang
bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta
menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan
perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih
menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk
mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling
mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka
pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan
meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara
rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh
jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan
hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling
dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling
menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid
II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri
UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke
Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan
diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda,
Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada
Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko,
secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah
dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari
Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan
Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi
pasukan RST.
Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia
telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan
berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten
KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di
Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA
untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri,
Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak
Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan
kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia
menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat
desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol
Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari,
ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa
190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara
asal Ambon telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Reciment
Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan.
Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana
tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari
1950 Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T.
Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA
bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak
mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas
dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak
APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin
penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan
Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan
menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan
TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga
serangan ke Jakarta gagal total.
Setelah puas melakukan pembantaian
di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke
tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24
Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap
Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan
besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi
meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa
Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta
menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul
Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam
waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh
Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara
Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950
dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne
Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional
telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens
melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah
mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte
hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
4.PEMBERONTAKAN ANDI
AZIS
Andi Azis adalah seorang mantan
Letnan KNIL dan sudah masuk TNI dengan pangkat Kapten, dia ikut berontak bahkan
memimpinnya. Dia memiliki riwayat yang sama uniknya dengan petualang KNIL
lainnya seperti Westerling. Andi Azis memiliki cerita hidupnya sendiri. Cerita
hidupnya sebelum berontak jauh berbeda dengan orang-orang Sulawesi Selatan pada
umumnya. Tidak heran bila Andi Azis menjalanani pekerjaan yang jauh berbeda
seperti orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya, sebagai serdadu KNIL. Bisa
dipastikan Andi Azis adalah salah satu dari sedikit orang Bugis yang menjadi
serdadu KNIL. Bukan tidak mungkin bila Andi Azis adalah orang Bugis dengan
pangkat tertinggi dalam KNIL.
Andi Abdul Azis lahir di Sulawesi,
diangkat anak oleh orang tua Eropa-nya yang membawanya lke Belanda dan ikut
terlibat dalam PD II. Dirinya lalu kembali sebagai bagian dari tentara Belanda
yang ysedang menduduki Indonesia. pasca KMB dia terlibat masalah serius dengan
TNI karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh federalis macam Saumokil yang memiliki
posisi penting dalam Negara Indonesia Timur, Jaksa Agung. Berakhirnya Negara
Indonesia Timur mengakibatkan.
Andi Abdul Azis asli Bugis putra
orang Bugis. Andi Azis lahir tanggal 19 September 1924, di Simpangbinangal,
kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pendidikan umumnya di Europe Leger School
namun tidak sampai tamat. Andi Azis kemudian dibawa seorang pensiunan Asisten
Residen bangsa Belanda ke negeri Belanda. Di Negeri Belanda tahun 1935 ia
memasuki Leger School dan tamat tahun 1938, selanjutnya meneruskan ke Lyceum
sampai tahun 1944. Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah
militer di negeri Belanda untuk menjadi menjadi seorang prajurit. Tetapi niat
itu tidak terlaksana karena pecah Perang Dunia II. Kemudian Andi Azis memasuki
Koninklijk Leger. Di KL, Andi Azis bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah
melawan Tentara Pendudukan Jerman (NAZI). Dari pasukan bawah tanah kemudian
Andi Azis dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan
pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin
terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke
Inggris, daerah paling aman dari Jerman—walaupun sebelum 1944 sering mendapat
kiriman bom Jerman dari udara.
Di Inggris kemudian Andi Azis
mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp sekitar 70 kilometer di luar
London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai prajurit komando. Selanjutnya
mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet
(1945). Di bulan Agustus 1945 karena SEAC dalam usaha mengalahkan Jepang di
front timur memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia, maka
Andi Abdul Azis kemudian ditempatkan ke komando Perang Sekutu di India,
berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta dengan pangkat Sersan.
Andi Azis mungkin satu-satunya
orang Indonesia yang mendapat latihan pasukan komando. Andi Azis juga orang
Indonesia yang ikut menjadi bagian, walau tidak secara langsung, dari kelahiran
pasukan-pasukan komando dunia seperti SAS milik Inggris dan KST Belanda. Andi
Azis, seperti halnya Westerling, merupakan orang-orang yang luar di negeri
Belanda yang ikut membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Seperti Halim
Perdana Kusuma, Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut serta dalam perang
Dunia II di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tidak syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar. Pada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilinding. Dalam tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Tetapi di Makassar Andi Azis merasa bosan. Ditinggalkannya Makassar untuk kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua. Selanjutnya menjadi Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), karena Sukowati berhasrat memiliki Ajudan bangsa Indonesia asal Sulawesi (Makasar), sedang ajudan seniornya selama ini adalah Kapten Belanda totok. Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948. pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian Ia dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya.
Setelah Jepang menyerah tidak syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar. Pada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilinding. Dalam tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Tetapi di Makassar Andi Azis merasa bosan. Ditinggalkannya Makassar untuk kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua. Selanjutnya menjadi Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), karena Sukowati berhasrat memiliki Ajudan bangsa Indonesia asal Sulawesi (Makasar), sedang ajudan seniornya selama ini adalah Kapten Belanda totok. Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948. pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian Ia dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya.
Tentu saja pasukan dari kompi yang
dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan. Kemampuan tempur pasukan itu diatas
standar pasukan reguler Belanda—juga TNI. Daerah Cimahi, adalah daerah dimana
banyak prajurit Belanda dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II.
Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda dilatih: pasukan
Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis kemungkinan
melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front Eropa.
Pasukan Andi Azis ini menjadi salah
satu punggung pasukan pemberontak selama bulan April sampai Agustus di
Makassar—disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Apa
yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling yang terlalu mengandalkan
pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen—yang pernah dilatih Westerling—maka
dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua unsur pasukan Belanda terlibat
terutama KNIL non pasukan komando. Westerling kurang didukung oleh pasukan
KNIL—Westerling lebih menaruh harapan pada RST yang desersi. Pasukan lain non
RST hanya pasukan pendukung semata. Pemberontakan Andi Azis, tulang punggung
pemberontakan adalah semua pasukan tanpa melihat kualifikasi
pasukan.Pemberontakkan Andi Azis, salah seorang komandan bekas satuan tentera
Belanda yang meletus pada tanggal 5 April 1950 di Makasar, Ujung Pandang dengan
motivasi yang menuntut status dan perlakuan khusus dari pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS). Antara pihak pemberontak dengan utusan pihak
pemerintah dari Jakarta, semula diusahakan pemecahan masalah melalui
perundingan yang kemudian disusul dengan ultimatum, sehingga pada akhirnya
harus diambil tindakan militer. Pada tanggal 20 Ogos 1950 Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dapat menguasai seluruh kota Makasar atau Ujung Pandang.
Pemberontakan Andi Azis
-Pada tanggal 5 April 1950 di
Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL
di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap
pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar
pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di
daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan
menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa
Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa
Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi
Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1)
Setelah
ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna
mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim
pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2)
Pemerintah
mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan
terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya
APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan
April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran
antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan
Agustus 1950.
5.Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah
daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk
memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa
Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai
pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada
November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan,
Belanda
Sejarah
Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang di antaranya adalah Dr. Chr.R.S. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Sejarah
Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang di antaranya adalah Dr. Chr.R.S. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Pemerintah Pusat yang mencoba
menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai
misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus,
pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk
menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan
Kolonel A.E. Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi
APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan
kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku
Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi
pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku
mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari
keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri
pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik
merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi
kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan
tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah
berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak
adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku
hanya menyangkut soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS (bermimpi) tidak
menutup kemungkinan Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati
tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh.
Pemimpin
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama, pemimpin kedua Frans Tutuhatunewa turun pada tanggal 25 april 2009. Kini John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Dr. Soumokil mengasingkan diri ke
Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati
oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12
April 1966.
Dukungan
Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS didirikan beragama Islam dan Kristen secara berimbang, Namun dengan adanya budaya "Pela Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu. Demikian saat itu RMS berbeda dengan sekarang, sudah banyak pendatang-pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa Madura maupun daerah lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil lah masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku kontemporer melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan Ambon.
RMS di Belanda
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di
Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di
kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka
Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan
berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah
RI, sehingga semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang
dikirim dari Pulau Jawa.
Karena adanya penangkapan yang
dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut,
ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para
pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat
itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut
sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda,
maka sebagian besar rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan
kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih
dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat maluku
ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta, diissukan sebagai "PENGUNGSIAN PARA
PENDUKUNG RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi
para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh
pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung
kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana
beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda
sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda
dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di
Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda
menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror
ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan
sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir
Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS
menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini
dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando
Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya
sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta
api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan
yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah
dan di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api.
Sejak tahun 80an hingga sekarang
aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.
Kerusuhan
Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.
Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa
elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga
Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan
tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan
sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun
sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini,
namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat
keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para
penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk
dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang
diselidiki. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan
mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang dianggap
penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror.
6. Pemberontakan PERMESTA
Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya
ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya
pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh
beberapa panglima militer.
Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah,
seperti :
1. Dewan Banteng
di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen
Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956
2. Dewan Gajah di
Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I
(TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.
3. Dewan Garuda di
Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
Sementara itu di Indonesia bagian timur
juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT
VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta
(Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya
meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya
dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh
pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.
Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14
September 1957 dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri
tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai
masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang,
kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas
maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di
Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan
usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu
mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh,
akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah
peristiwa Cikini.
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di
Indonesia. Daerah-daerah yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya
sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9
Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri
tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan
rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein
menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi.
1. Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan
mandat kepada presiden.
2. Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan
Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet.
3. Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai
Presiden Konstitusional.
Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri
memutuskan untuk menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira
TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein,
Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12
Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim
Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein
memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam
rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer
Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa
sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT)
menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.
Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama
dengan KSAD memutuskan untuk melakukan operasi militer. Operasi gabungan
AD-AL-AU terhadap PRRI ini diberi nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke Pekanbaru
untuk mengamankan sumber-sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru
berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan ke pusat pertahanan
PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali.
Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI.
Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.
Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai
Penguasa Perang Pusat memecat Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan
Batalion yang berada di bawah KDMSUT diserahkan kepada Komando Antardaerah
Indonesia Timur. Untuk menumpas aksi Permesta, pemerintah melancarkan operasi
gabungan yang disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto
Hendraningrat pada bulan April 1958. Gerakan Permesta diduga mendapat bantuan
dari petualang asing terbukti dengan jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L.
Pope (seorang warganegara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada 18 Mei
1958. Pada 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan tahun
1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.
roklamsi
PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17
Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung
PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan
ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus
ditumpas.
Untuk menumpas gerakan Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer
beberapa kali. Berikut ini operasi – operasi militer tersebut.
a. Komando operasi Merdeka yang
dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.
b. Operasi Saptamarga I dipimpin Letkol
Sumarsono, menumpas Permesta di Sulawesi Utara bagian tengah.
c. Operasi Saptamarga II dipimpin
Letkol Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
d. Operasi Saptamarga III dipimpin
Letkol Magenda dengan sasaran kepulauan sebelah Utara Manado.
e. Operasi Saptamarga IV dipimpin
Letkol Rukminto Hendraningrat, menumpas Permesta di Sulawesi Utara.
f. Operasi Mena I dipimpin Letkol
Pieters dengan sasaran Jailolo.
g. Operasi Mena II dipimpin Letkol
Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.
Ternyata
Gerakan Permesta mendapat dukungan asing, terbukti dengan ditembak jatuhnya
pesawat yang dikemudikan oleh Alan Pope warga negara Amerika Serikat tanggal 18
Mei 1958 di atas Ambon. Meskipun demikian, pemberontakan Permesta dapat
dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun sisa – sisanya masih ada
sampai tahun 1961.
Keadaan
Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebelum Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI
Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan ideologi Pancasila menghadapi berbagai tantangan besar sejak tahun 1959,
ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Pada waktu itu terjadi ketegangan
sosial politik yang menjadi-jadi. Kondisi politik menjadi panas karena
antarpartai politik saling mencurigai, antara partai politik dengan ABRI serta
antara keduanya dengan Presiden. Mereka saling bersaing untuk saling berebut
pengaruh atau mendominasi. Begitu pula pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi
ekonomi sangat memprihatinkan hingga muncul krisis ekonomi nasional.
Prinsip Nasakom yang diterapkan
waktu itu memberi peluang kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk
memperluas pengaruhnya. Dalam memanfaatkan peluang tersebut PKI menyatakan
sebagai partai pejuang bagi perbaikan nasib rakyat dengan janji-janji seperti
kenaikan gaji atau upah, pembagian tanah dan sebagainya. Oleh karena itu PKI
banyak mendapatkan pengaruh dari para petani, buruh kecil atau pegawai rendah
sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual,
dan para perwira ABRI.
7.
Pemberontakan G 30 S/PKI
Tantangan yang dihadapi NKRI ketika
Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis ekonomi nasional
merupakan peluang paham komunis untuk berkembang. Prinsip Nasakom yang
dilaksanakan pada waktu itu memberi kesempatan kepada PKI dan organisasi
pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Melihat kondisi ekonomi yang
memprihatinkan serta kondisi sosial politik yang penuh dengan gejolak pada awal
tahun 1960-an maka PKI berusaha menyusun kekuatan dan melakukan pemberontakan.
Sebelum melakukan pemberontakan, PKI melakukan berbagai cara agar mendapat
dukungan yang luas di antaranya sebagai berikut.
1. PKI menyatakan dirinya sebagai
pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji akan menaikkan gaji dan upah
buruh, pembagian tanah dengan adil, dan sebagainya.
2. PKI juga mencari pendukung dari
berbagai kalangan mulai dari para petani, buruh kecil, pegawai rendahan baik
sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual,
dan para perwira ABRI.
3. Pengaruh PKI yang besar dalam bidang
politik sehingga memengaruhi terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, semua
organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti pemerintah. Manifesto
Kebudayaan (Manikebu), sebagai organisasi para seniman dibubarkan pemerintah
pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik luar negeri RI pada waktu itu lebih
condong ke Blok Timur yakni dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking.
Puncak ketegangan politik terjadi
secara nasional pada dini hari tanggal 30 September 1965 atau awal tanggal 1
Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira
Angkatan Darat. Penculikan ini dilakukan oleh sekelompok militer yang menamakan
dirinya sebagai Gerakan 30 September. Aksi ini di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Untung, komandan Batalyon I Cakrabirawa. Para pimpinan TNI AD yang diculik dan
dibunuh oleh kelompok G 30 S/ PKI tersebut adalah sebagai berikut.
a. Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b. Mayor Jenderal R. Suprapto.
c. Mayor Jenderal Haryono MT.
d. Mayor Jenderal S. Parman.
e. Brigadir Jenderal DI. Panjaitan.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo
Siswomiharjo.
g. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Dalam peristiwa tersebut Jenderal
Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Kompartemen Hankam/ Kepala
Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan diri dari pembunuhan akan tetapi putri
beliau, Irma Suryani Nasution tewas akibat tembakan para penculik. Letnan Satu
Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution juga tewas dalam peristiwa
tersebut. Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Wakil
Perdana Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban keganasan PKI. Peristiwa
pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi di Yogyakarta mengakibatkan gugurnya
dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso Dharmokusumo dan Letnan Kolonel
Sugiyono. Pada hari Jum’at pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “
telah menguasai dua buah sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di
Jalan Merdeka Barat, Jakarta dan Kantor PN Telekomunikasi di Jalan Merdeka
Selatan. Melalui RRI pagi itu pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15
disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa
gerakan ditujukan kepada jenderal- jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan
mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Dengan pengumuman ini maka masyarakat
menjadi bingung.
Menghadapi situasi politik yang panas
tersebut Presiden Sukarno berangkat menuju Halim Perdanakusumah, dan segera
mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan
meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Mayor
Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD)
mengambil alih komando Angkatan Darat, karena belum adanya kepastian mengenai
Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat Menteri Panglima Angakatan Darat.
Dengan menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi, dan Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi Wibowo,
panglima Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan terhadap Gerakan 30
September. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 1 Oktober 1965
operasi untuk merebut kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar pukul 19.00.
Dalam sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil tanpa hambatan. Selanjutnya
Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan
lewat RRI yang isinya sebagai berikut.
(a) Adanya usaha usaha perebutan
kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
(b) Telah diculiknya enam tinggi
Angkatan Darat.
(c ) Presiden dan Menko Hankam/Kasab
dalam keadaan aman dan sehat.
(d) Kepada rakyat dianjurkan untuk
tetap tenang dan waspada.
(2) Menjelang sore hari pada tanggal
2 Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang dilakukan oleh RPKAD yang dipimpin oleh
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan Batalyon 328 Para Kujang. Operasi ini berhasil
menguasai beberapa tempat penting dapat mengambil alih beberapa daerah termasuk
daerah sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang menjadi pusat kegiatan
Gerakan 30 September.
(3) Dalam operasi pembersihan di
kampung Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk seorang anggota
polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman diketemukan sebuah sumur tua tempat
jenazah para perwira Angkatan Darat dikuburkan. Mereka yang menjadi korban
kebiadaban PKI tersebut mendapat penghargaan sebagai pahlawan revolusi.
Ketika gerakan 30 September ini
menyadari tidak adanya dukungan dari masyarakat maupun anggota angkatan
bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung Gerakan 30 September
termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit segera melarikan diri. Dengan demikian masyarakat
semakin mengetahui bahwa Gerakan 30 September yang sebenarnya melakukan
pengkhianatan terhadap negara ini
Usaha
terhadap Pemerintah RI dan mengganti dasar negara Pancasila telah dua kali
dijalankan, yang pertama di tahun 1948, dikenal sebagai pemberontakan PKI Muso
di Madiun dan yang kedua ialah pemberontakan G 30 S PKI dalam bulan September
1965.
Sebelum
melancarkan Gerakan 30 September, PKI mempergunakan berbagai cara seperti
mengadu domba antara aparat Pemerintah, ABRI dan ORPOL, serta memfitnah mereka
yang dianggap lawan-lawannya serta menyebarkan berbagai isyu yang tidak benar
seperti KABIR, setan desa dan lain-lain. Semua tindakan tersebut sesuai dengan
prinsip PKI yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya yaitu
mengkomuniskan Indonesia dan mengganti Pancasila dengan ideologi mereka. Bahkan
menjelang saat-saat meletusnya pemberontakan G 30 S /PKI, maka PKI di tahun
1965 melontarkan isyu bahwa Angkatan Darat akan mengadakan kup terhadap
Pemerintah RI dan di dalam TNI AD terdapat "Dewan Jenderal".
Jelaslah
isyu-isyu tersebut merupakan kebohongan dan fitnah PKI, yang terbukti bahwa PKI
sendiri yang ternyata melakukan kup dan mengadakan pemberontakan terhadap
Pemerintah RI yang syah dengan mengadakan pembunuhan terhadap Pejabat Teras TNI
AD yang setia kepada Pancasila dan Negara.
Di
samping itu, PKI memantapkan situasi "revolusioner" dikalangan
anggota-anggotanya dan massa rakyat. Semua ini dimungkinkan karena PKI
mendompleng dan berhasil mempengaruhi presiden Sukarno, dengan berbagai aspek politiknya
seperti MANIPOL, USDEK, NASAKOM dan lain-lain.
Semua
kegiatan ini pada hakekatnya merupakan persiapan PKI untuk merebut kekuasaan
negara dan sesuai dengan cita-cita atau ideologi mereka yang akan membentuk
pemerintah komunis sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat komunis.
Setelah
persiapan untuk melakukan pemberontakan mereka anggap cukup matang antara lain
dengan latihan kemiliteran para SUKWAN dan Ormas-ormas PKI di Lubang Buaya,
maka ditentukan hari H dan Jam D- nya. Rapat terakhir pimpinan G 30 S /PKI
terjadi pada tanggal 30 September 1965, diamana ditentukan antara lain
penentuan Markas Komando (CENKO) yang mempunyai 3 unsur :
1. Pasopati, Tugas khusus pimpinan
Lettu Dul Arief dari MEN Cakrabirawa.
2. Bimasakti, tugas penguasaan dipimpin
oleh Kapten Radi.
3. Gatotkaca sebagai cadangan umum juga
penentuan tanda-tanda pengenal, kode-kode dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan operasi tersebut. Untuk gerakan operasi mereka ini Jakarta dibagi dalam
6 sektor.
Dari
Lubang Buaya ini PKI dan pasukan-pasukan yang telah dipersiapkan, melancarkan
gerakan pemberontakannya, dengan diawali lebih dahulu menculik dan membunuh
secara keji Pemimpin-pemimpin TNI AD yang telah difitnah oleh PKI menduduki
beberapa instalasi vital di Ibukota seperti Studio RRI, pusat Telkom dan
lain-lain.
Diantara
para Pemimpin TNI AD yang dibunuh secara kejam adalah Panglima Angakatan Darat
Letjen TNI A Yani, Deputy II MEN/PANGAD MAYJEN TNI Suprato, Deputy III
MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT, ASS 1 MEN/PANGAD Mayjen TNI Suparman, ASS III
MEN/PANGAD Brigjen TNI DI Pandjaitan, IRKEH OJEN AD Brigjen TNI Sutoyo
Siswomiharjo
Usaha
PKI untuk menculik dan membunuh MEN PANGAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengalami
kegagalan, namun Ajudan beliau Lettu Czi Piere Tendean dan putri beliau yang
berumur 5 tahun Ade Irma Suryani Nasution telah gugur menjadi korban kebiadaban
gerombolan G 30 S/PKI. Dalam peristiwa ini Ade Irma Suryani telah gugur sebagai
tameng Ayahandanya. Para pemimpin TNI AD tersebut dan Ajudan Jenderal TNI
Nasution berhasil diculik dan dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI tersebut,
kemudian secara kejam dibuang/dikuburkan di dalam satu tempat yakni di sumur
tua di Lubang Buaya daerah Pondok Gede.
Demikian
pula AIP Satuit Tubun pengawal kediaman WAPERDAM DR. A.J. Leimena gugur pula.
Di Jogyakarta, DANREM 072 Kolonel Katamso dan KASREM 072 Letkol I Sugiono gugur
pula diculik dan dianiaya oleh gerombolan G 30 S/PKI secara di luar batas-batas
perikemanusiaan di desa Kentungan.
Sementara
itu, sesudah PKI dengan G 30 S/PKI nya berhasil membunuh para pimpinan TNI AD,
kemudian pimpinan G 30 S/PKI mengumumkan sebuah dektrit melalui RRI yang telah
berhasil pula dikuasai. Dekrit tersebut diberinya nama kode Dekrit No 1 yang
mengutarakan tentang pembentukan apa yang mereka namakan Dewan Revolusi Indonesia
di bawah pimpinan Letkol Untung. Berdasarkan revolusi merupakan kekuasaan
tertinggi, dekrit no 1 tersebut, maka Dewan Revolusi merupakan kekuasaan
tertinggi, Dekrit no 2 dari G 30 S/PKI tentang penurunan dan kenaikan pangkat
(semua pangkat diatas Letkol diturunkan, sedang prajurit yang mendukung G 30
S/PKI dinaikan pangkatnya 1 atau 2 tingkat).
Setelah
adanya tindakan PKI dengan G 30 S/PKI-nya tersebut, maka keadaan di seluruh
tanah air menjadi kacau. Rakyat berada dalam keadaan kebingungan, sebab tidak
diketahui di mana Pimpinan Negara berada. Demikian pula halnya nasih para
Pemimpin TNI AD yang diculikpun tidak diketahui bagaimana nasib dan beradanya
pula.
Usaha
untuk mencari para pimpinan TNI AD yang telah diculik oleh gerombolan G 30
S/PKI dilakukan oleh segenap Kesatuan TNI/ABRI dan akhirnya dapat diketahui
bahwa para pimpinan TNI AD tersebut telah dibunuh secara kejam dan jenazahnya
dimasukan ke dalam sumur tua di daerah Pondok Gede, yang dikenal dengan nama
Lubang Buaya.
Dari tindakan PKI dengan G 30 S nya,
maka secara garis besar dapat diutarakan :
1.) Bahwa Gerakan 30 September
adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk merebut kekuasaan di negara
Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI sebagai kekuatan fisiknya,
untuk itu maka Gerakan 30 September telah dipersiapkan jauh sebelumnya dan
tidak pernah terlepas dari tujuan PKI untuk membentuk pemerintah Komunis.
2.) Bahwa tujuan tetap komunis di
Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan negara dan mengkomuniskannya.
3.) Usaha tersebut dilakukan dalam
jangka panjang dari generasi ke generasi secara berlanjut.
4.) Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.
4.) Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.
Upaya Penumpasan G-30S/PKI
Setelah melakukan aksinya, Letkol
Untung kemudian mengumandangkan berdirinya Dewan Revolusi yang selanjutnya
bertindak sebagai pemegang kekuasaan dan keamanan negara. Dewan Revolusi ini
diketuai oleh Letkol Untung dengan wakil Brigjen Suparjo.
Melihat hal tersebut, Mayjen
Soeharto segera melakukan tindakan tegas. Ia lalu menyuruh Sarwo Edhi Wibowo
selaku RPKAD untuk mengamankan keadaan. Dengan sekejap pasukan Sarwo Edhi
berhasil menguasai RRI. Dalam siaran tanggal 1 Oktober 1965 malam, Mayjen
Soeharto menegaskan bahwa G-30S/PKI adalah pemberontakan dan Presiden Soekarno
dalam keadaan selamat.
Pada tanggal 1 Oktober juga, TNI
dapat menguasai pangkalan udara Halim Perdanakusumah dan Lubang Buaya. Lalu,
pada tanggal 2 Oktober 1965 jenazah perwira TNI AD berhasil di temukan di
Lubang Buaya dan pada tanggal 5 Oktober 1965 jenazah pahlawan revolusi
dikebumikan di TMP Kalibata. sementara jenazah Kolonel Katamso dan Letkol
Sugiyono yang menjadi korban Gestapu di Yogya baru ditemukan tanggal 19 Oktober
1965.
Sementara itu, beberapa orang yang terlibat
dalam Gestapu terus melarikan diri ke berbagai tempat di Pulau Jawa. Akan
tetapi, usaha penumpasan G-30S/PKI terus dilakukan di berbagai tempat. Akhirnya
Letkol Untung dapat ditangkap di Tegal pada tanggal 11 Oktober 1965 dan
pimpinan PKI waktu itu, D.N. Aidit ditangkap di Surakarta tanggal 22 November
1965. Selain itu, banyak pula tokoh PKI lain yang ditangkap. Kemudian mereka
diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk diadili.
Akibat dari Gestapu tersebut adalah
munculnya demonstrasi menentang PKI. Para demonstran menuntut dibubarkannya
PKI. Pada demonstrasi ini, gugurlah mahasiswa Universitas Indonesia, Arif
Rahman Hakim yang mendapat gelar pahlawan Ampera (Amanat penderitaan rakyat).
Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1966
lahirlah Supersemar yang isinya memberikan amanat kepada Letjen Soeharto untuk
mengambil segala tindakan demi mencapai keamanan dan ketenangan. lalu, pada
tanggal 12 Maret 1966, PKI dinyatakan partai terlarang di seluruh Indonesia dan
pada tanggal 18 Maret 1966 dilakukan pembersihan kabinet dari orang-orang yang
diduga terlibat Gestapu. Dengan lahirnya Supersemar inilah sebagai awal
dimulainya orde baru.
G-30S/PKI Pemberontakan PKI
Madiun